Nama : BOY SANDI
NPM : 120404010098
Fak/Prodi : Ekonomi/Manajemen
Mata
kuliah : Aspek Hukum Dalam Ekonomi
Dosen : Eris Dianawati, S.Pd., MM
Pengertian Perjanjian
1. Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata berbunyi :
“Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau
lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
2. Menurut Rutten
Perjanjian adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai
dengan formalitas-formalitas dari peraturan hokum yang ada, tergantung dari
persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk
timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain
atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.
3. Menurut adat
Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian
dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan
rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga
dapat terjadi pembayaran dimuka).
Macam – Macam Perjanjian
1) Perjanjian
dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban.
2) Perjanjian
sepihak dan perjanjian timbal balik.
3) Perjanjian konsensuil,
formal dan, riil.
4) Perjanjian
bernama, tidak bernama dan, campuran
Syarat sahnya perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata,
sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1. Sepakat
untuk mengikatkan diri.
2. Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal
tertentu
4. Sebab yang
halal
Dua syarat
yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat- syarat
subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena
mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Pelaksanaan Perjanjian
Itikad baik
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai
pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik
ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang
telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi
perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa.
Pembatalan Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan
oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum.
Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena;
1. Adanya suatu
pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang
ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak
pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau
secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3. Terkait
resolusi atau perintah pengadilan
4. Terlibat
Hukum
5. Tidak lagi
memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian
Dasar-Dasar Hukum Perjanjian
Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum
Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan
karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
- Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian
dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan,
selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai
dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya
perjanjian.
- Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam
suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian
sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu
pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu
pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
- Tidak melaksanakan isi perjanjian.
- Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
- Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
- Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara
sebagai berikut:
a. Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak
dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata
dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan
hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie
diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat
terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402
KUH Perdata).
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan
atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan
apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah
kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri
untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang
atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera
Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh
Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan
atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah
utang piutang itu.
c. Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang
menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3
macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti
debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
d. Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan
jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik
antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada
kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk
menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini
dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara
kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
1. Apabila
penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
2. Apabila
dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
3. Terdapat
sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak
dapat disita (alimentasi).
e. Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang
(kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka
terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu
dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk
sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
f. Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang
adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan
debitur dari segala kewajibannya.
g. Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek
perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama
sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya,
jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum
ia lalai menyerahkannya.
h. Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas
perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan
perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak
yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum
pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan
perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Secara aktif
menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
2. Secara
pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk
memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
i. Berlakunya suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah
suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala
sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j. Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat
waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari
suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala
tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan
hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan
lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi
hapus.
STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau kerangka dari suatu perjanjian, pada
umumnya terdiri dari:
- Judul/Kepala
- Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau
atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
- Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para
pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
- Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
- Penutup dari Perjanjian.
BENTUK
PERJANJIAN
Perjanjian dapat berbentuk:
- Lisan
- Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
-
Di bawah tangan/onderhands
-
Otentik
Pengertian Akta
Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja
dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani pihak
yang membuatnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 1867 KUH Perdata suatu
akta dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:
a. Akta Di bawah Tangan (Onderhands)
b. Akta Resmi (Otentik).
Akta Di bawah Tangan
Adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang
berwenang atau Notaris. Akta ini yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak
yang membuatnya. Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh
Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa
yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857
KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang
sama dengan suatu Akta Otentik.
Perjanjian di bawah tangan terdiri dari:
1) Akta di
bawah tangan biasa
2) Akta Waarmerken, adalah
suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk
kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak
bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam
dokumen yang dibuat oleh para pihak.
3) Akta
Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak
namun penandatanganannya disaksikan oleh
atau di hadapan Notaris, namun Notaris tidak bertanggungjawab terhadap
materi/isi dokumen melainkan Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda
tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen
tersebut.
Akta Resmi (Otentik)
Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan
yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat
umum pembuat akta itu. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim,
juru sita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.
Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna bagi para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang
mendapat hak dari para pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu
akta otentik, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di
dalam akta itu sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh
memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akta otentik harus memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
1) Akta itu
harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.
2) Akta itu
harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
3) Pejabat umum
oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk
membuat akta itu.
Perbedaan antara Akta Otentik dan Akta Di bawah Tangan
No.
|
Perbedaan
|
Akta Otentik
|
Akta Di bawah tangan
|
1.
2.
3.
4.
5.
|
Definisi
Materi
Pembuktian
Penggunaannya
Penyimpanan
|
Akta yang
dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum (a.l. Notaris)
Apa yang tercantum pada isi Akta otentik berlaku sebagai sesuatu yang
benar (bukti sempurna), kecuali dapat dibuktikan sebaliknya dengan alat bukti
lain.
Bilamana disangkal oleh pihak lain maka pihak yang menyangkal itulah yang
harus membuktikan bahwa akta itu tidak benar, dan akta otentik mempunyai
tanggal yang pasti.
Dalam hal tertentu mempunyai kekuatan eksekutorial.
Kemungkinan hilang lebih kecil, sebab oleh Undang-undang ditentukan,
bahwa Notaris diwajibkan untuk menyimpan asli akta secara rapi di dalam
lemari besi tahan api.
|
Akta yang
dibuat oleh dan ditandatangani para pihak
Apa yang tercantum pada isi akta di bawah tangan (tulisan atau tanda
tangannya) dapat merupakan kekuatan bukti yang sempurna selama tidak
disangkal oleh pihak-pihak yang menggunakan akta tersebut.
Bilamana tulisan atau tanda tangannya disangkal oleh pihak lain, maka
pihak yang memakai akta itulah yang harus membuktikan bahwa akta itu adalah
benar.
Tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial.
Kemungkinan hilang lebih besar.
|